Melestarikan Pandan, Menganyam Kearifan
KECINTAAN Dony Permana terhadap ragam kriya berakar pada bisnis ekspor yang pernah lama digeluti keluarganya. Dialog dengan banyak perajin berusia senja dan pertemuan dengan Wulan Rusanty mengantarnya pada perenungan dan adu-gagasan seputar kelestarian hasta karya. Kegelisahan pun mengerucut.
Dony menemukan “para akar”, sebutan yang ia sematkan kepada para penghayat kriya, sekaligus mitra kolaborasi yang setara. Sejak itulah, mereka menentukan arah usaha sekaligus gerakannya. ParaAkar Indonesia yang bertunas pada 2010 adalah wujud aktivisme Dony dan Wulan untuk melestarikan anyaman pandan. Kepedulian ParaAkar terhadap keberlanjutan lingkungan tampak dari getolnya promosi untuk alih-opsi perkakas sehari-hari ke kriya daun. Selain itu, mereka juga bergerak di hulu, memfasilitasi penanaman pandan laut dan mengatur masa panen.
Inovasi menjadi strategi untuk menarik minat perajin muda serta mengangkat serat alam ke level berikutnya. Berbekal hasil riset, ParaAkar berhasil membuat karya anyaman yang lebih tahan jamur. Dengan lapisan akhir yang ramah-lingkungan, ragam kriya pandan pun menembus pasar global. Besarnya apresiasi dari luar negeri membuat Dony dan Wulan sadar, keberpihakan terhadap produk lokal harus dibangun. Edukasi kepada pasar, pembuat kebijakan, perajin, dan pencari daun ditempuh tanpa lelah. Karena mereka percaya, cita-cita kelestarian anyaman pandan dan penganyamnya hanya akan tercapai lewat kolaborasi.
